Rabu, 05 Januari 2011

Ketidakteraturan Haid Atletik (Athletic Menstrual Cycle Irregularity, AMI)


Sejak tahun 1970-an, saat wanita semakin banyak yang ikut serta dalam berbagai olahraga yang memerlukan program latihan berat, para peneliti semakin menyadari bahwa banyak wanita yang mengalami perubahan daur haid mereka akibat keikutsertaan dalam olahraga. Perubahan-perubahan ini disebut sebagai ketidakteraturan daur haid atletik (Athletic Menstrual Cycle Irregularity, AMI). Keparahan disfungsi daur haid dapat bervariasi dari amenore (pengertian haid) sampai oligomenore anovulatorik (daur yang lamanya normal tetapi bersifat – tanpa ovulasi) atau dengan fase luteal yang pendek atau inadekuat.
            Pada studi awal yang menggunakan survei dan kuesioner untuk menentukan prevalensi masalah, frekuensi gangguan terkait olahraga ini bervariasi dari 2% sampai 51%. Sebaliknya, angka kejadian disfungsi daur haid pada wanita usia subur dalam populasi umum adalah 2% sampai 5%. Masalah utama dalam menentukan frekuensi ketidakteraturan daur haid melalui survei adalah keakuratan responden mengingat periode haid mereka. Selain itu, tanpa pemeriksaan darah untuk menentukan kadar hormone selama siklurs, seorang wanita tidak akan mengetahui apakah ia mengalami anovulasi atau  pemendekan fase luteal. Studi-studi yang melakukan pengukuran kadar hormon selama siklus haid memperlihatkan bahwa daur haid pada atlet yang tampak normal sering memiliki fase luteal pendek (kurang dari 10 hari, dengan kadar progesterone rendah).

            Pada sebuah studi yang dilakukan untuk mengetahui apakah olahraga berat yang berlangsung selama dua daur haid akan memicu gangguan haid, 28 mahasiswi tidak terlatih dengan pencatatan ovulasi dan fase luteal yang adekuat ikut serta sebagai subjek. Para mahasiswi tersebut ikut serta dalam program olahraga selama 8 minggu. Pada awalnya mereka berakan memicu gangguan hailari 4 mil per hari dan meningkat menjadi 10 mil per hari pada minggu ke-5. Mereka diharapkan ikut serta setiap hari berolahraga dengan intensitas sedang selama 3.5 jam. Hanya 4 wanita yang memiliki daur haid normal selama masa latihan tersebut. Kelainan yang timbul selama masa latihan antara lain adalah perdarahan abnormal, dan hilangnya lonjakan LH. Semua wanita kembali mengalami daur haid normal dalam 6 bulan setelah latihan. Hasil dari penelitian ini mempertlihatkan bahwa frekuensi AMI pada olahraga yang berat mungkin lebih besar daripada yang diperkirakan hanya berdasarkan kuesioner. Pada studi-studi yang menerapkan rejimen olahraga yang lebih ringan, frekuensi AMI jauh lebih rendah.
            Sampai saat ini mekanisme AMI tidak diketaui, walupun penelitian menumjukkan bahwa penurunan berat badan yang cepat, penurunan persentase lemak tubuh, insufisiensi makanan, disfungsi haid sebelumnya, stress, usia saat permuaan latihan dan intesitas latihan merupakan faktor yang berperan penting. Para pakar epidemiologi memperlihatkan bahwa apabila para gadis ikut serta dalam olahraga berat sebelum menarche (haid yang pertama), menarche akan tertunda. Secara rata-rata, para atlet mendapat haid pertama mereka 3 tahun lebih lambat daripada rekan sebaya mereka. Selain itu, gadis yang aktif dalam olahraga sebelum menarche tampak memperlihatkan frekuensi AMI yang lebih tinggi daripada mereka yang mulai latihan setelah menarche. Perubahan hormon yang pernah diumpai pada para atlet wanita adalah (1) kadar FSH yang sangat rendah, (2) peningkatan kadar LH, (3) penurunan progesteron selama fase luteal, (4) kadar estrogen yang renah pada fase folikel, dan (5) lingkungan FSH/LH yang sama sekali tidak seimbang dibandingkan dengan wanita non atlet yang sebaya. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa daur haid kembali ke normal setelah olahraga berat dihentikan.
            Masalah utama yang berkaitan dengan amenore atletik adalah penurunan kepadatan tulang. Penelitian menunjukkan bahwa kepadatan mineral di vertebra bagian bawah mereka yang mengalami amenore atletik lebih rendah daripada atlet dengan dengan daur haid normal dan lebih rendah daripada wanita noonatlet yang sebaya. Namun para pelari yang mengalami amenorea memperlihatkan kepadatan mineral tulang yag lebih besar daripada wanita nonatlet yang amenore, mungkin karena stimulus mekanis selama olahraga membantu menahan pengeroposan tulang. Penelitian menunjukkan bahwa atlet dengan daur tekanan daripada atlet dengan daur haid yang normal. Sebuah penelitian contohnya, mendapatkan fraktur akibat tekanan pada 6 dari 11 pelari wanita yang mengalami amenore tetapi hanya 1 dari 6 perlari wanita yang daur haidnya normal. Mekanisme pengeroposan tulang munkin serupa dengan yang terjadi pada osteoporosis pascamenopause – tidak adanya estrogen. Masalahnya cukup serius sehingga seorang atlet dengan amenore seyogyanya membahas kemungkinan terapi penggantian estrogen dengan dokternya.
Mungkin terdapat aspek positif dari disfungsi haid atlet. Baru-baru ini, sebuah penelitian peidemiologi yang dilakukan untuk menuntukan apakah kesehatan umum dan kesehatan reproduksi jangka panjang wanita yang menjadi atlet di univesitasnya bebeda dengan mahasiswi nonatlet, memperlihatkan bahwa mantan atlet memiliki angka kejadian seumur hidup kurang dari separuh untuk kinker sistem reproduksi dan separuh untuk kanker payudara daripada wanita nonatlet. Karena kanker-kanker itu adalah kanker peka-hormon, penundaan menarche dan rendahnya kadar estrogen pada atlet wanita mungkin berperan penting dalam menurunkan risiko kanker sistem reproduksi dan payudara.





asalah ng menunjukkan bahwa daur haid kembali ke normal seteah olahraga berat dihentikan.bandingkan dengan wanita non atlet

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.