A. PENDAHULUAN
Emfisema adalah
suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal
saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding
alveolus.
Emfisema
ditandai oleh kolapsnya saluran pernafasan halus dan rusaknya dinding alveolus.
Keadaan irreversible ini dapat timbul melalui dua cara. Yang paling sering,
emfisema timbul akibat pengeluaran berlebihan enzim-enzim destruktif, misalnya
tripsin dari makrofag alveolus sebagai respon terhadap penghirupan asap
berulang atau iritan kimiawi inhalan lainnya.
Pada emfisema,
sekat-sekat antar alveolus menjadi rusak (lenyap) sehingga ruangan-ruangan
dalam paru juga menjadi jauh lebih luas. Kerusakan jaringan paru ini akan
mengurangi daya lenting yang dimilikinya, akibatnya paru pun menjadi lebih
lentur mengakibatkan perubahan tekanan yang kecil dapat menimbulkan perubahan
volume yang lebih besar daripada normal. Walaupun sekilas hal ini seolah
menyebabkan bernafas menjadi lebih mudah, yang sebenarnya terjadi malah
sebaliknya. Sebagian besar kerja pada bernafas dilakukan untuk mengatasi
resistensi jalan nafas, dimana akan menjadi sangat meningkat pada emfisema.
Sesuai dengan
definisi tersebut, maka jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara
(alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan maka keadaan ini tidak
termasuk emfisema melainkan hanya sebagai ’overinflation’.
Untuk lebih
memahami patofisiologi emfisema, kita dapat menganggap bahwa elastisitas
jaringan paru normal sebagai jutaan pegas kecil yang saling berhubungan .
Pegas-pegas tersebut cenderung untuk menyebabkan kolapsnya paru dan
menghasilkan gaya yang menarik ke dinding dada. Pegas tersebut juga akan
menarik dinding jalan nafas, hal ini berfungsi untuk menjaga agar jalan nafas
tetap terbuka dan membantu mengurangi resistensi jalan nafas saat ekspirasi.
Pada emfisema, jumlah “pegas” yang berfungsi sudah jauh berkurang dan yang
tersisa jauh lebih lemah daripada normal. Hal ini berpotensi dalam menyebabkan
dua perubahan penting yaitu paru akan menjadi jauh lebih lembek dan mengembang
karena berkurangnya tegangan memungkinkan dinding dada mengembang sampai hampir
mencapai volume istirahat dinding dada tanpa paru yaitu sekitar 60 % dari
kapasitas vital dan jaringan paru tidak akan banyak menarik jalan nafas
sehingga jalan nafas yang sempit mudah untuk kolaps saat ekspirasi.
Meningkatnya resistensi jalan nafas ini merupakan gejala utama pada emfisema
berat. Meningkatnya ukuran
paru secara tidak langsung akan meningkatkan Functional Residual Capacity (FRC)
dan volume residual.
B.PENYEBAB
1. FAKTOR GENETIK
Faktor genetik mempunyai
peran pada penyakit emfisema. Faktor genetik diataranya adalah atopi yang
ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar imonoglobulin E (IgE)
serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada
keluarga, dan defisiensi protein alfa – 1 anti tripsin.
2. HIPOTESIS ELASTASE-ANTI ELASTASE
Didalam paru terdapat
keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak
terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan menimbulkan jaringan elastik
paru rusak. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema.
3. ROKOK
Rokok adalah
penyebab utama timbulnya bronkitis kronik dan emfisema paru. Secara patologis
rokok berhubungan dengan hyperplasia kelenjar mucus bronkus dan metaplasia
epitel skuamus saluran pernapasan
4. INFEKSI
Infeksi menyebabkan
kerusakan paru lebih hebat sehingga gejalanyapun lebih berat. Infeksi
pernapasan bagian atas pasien bronchitis kronik selalu menyebabkan infeksi paru
bagian dalam, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Bakteri yang di
isolasi paling banyak adalah haemophilus influenzae dan streptococcus
pneumoniae.
5. POLUSI
Sebagai faktor
penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambah
merokok resiko akan lebih tinggi
6. FAKTOR SOSIAL EKONOMI
Emfisema lebih banyak didapat pada golongan sosial
ekonomi rendah, mungkin kerena perbedaan pola merokok, selain itu mungkin
disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek.
C. PATOFISIOLOGI
Penyempitan
saluran nafas terjadi pada emfisema paru. Yaitu penyempitan saluran nafas ini
disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Penyebab dari elastisitas yang
berkurang yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin. Dimana AAT merupakan suatu protein yang menetralkan
enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan
paru. Dengan demikian AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada
enzim proteolitik. Didalam paru terdapat keseimbangan paru antara enzim
proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan.
Perubahan keseimbangan menimbulkan kerusakan jaringan elastik paru. Arsitektur
paru akan berubah dan timbul emfisema. Sumber elastase yang penting adalah
pankreas. Asap rokok, polusi, dan infeksi ini menyebabkan elastase
bertambah banyak. Sedang aktifitas system anti elastase menurun yaitu
system alfa- 1 protease inhibator terutama enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1
globulin). Akibatnya tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan anti
elastase dan akan terjadi kerusakan jaringan elastin paru dan menimbulkan
emfisema. Sedangkan pada paru-paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan
yang menarik jaringan paru keluar yaitu yang disebabkan tekanan intra pleural
dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan paru kedalam
yaitu elastisitas paru.
Pada orang
normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru
akan berkurang sehingga saluran nafas bagian bawah paru akan tertutup. Pada
pasien emfisema saluran nafas tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang
tertutup. Cepatnya saluran nafas menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan
menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung pada
kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada akan
tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara pernafasan maupun aliran darah ke
alveoli tidak sama dan merata. Sehingga timbul hipoksia dan sesak nafas.
Ada tiga faktor
yang memegang peran dalam timbulnya emfisema yaitu :
1. Kelainan radang bronchus dan bronchiolus yang sering disebabkan oleh
asap, debu industri. Radang peribronchiolus disertai fibrosis menyebabkan
iskhemia dan parut sehingga memperluas dinding bronchiolus.
2. Kelainan atrofik yang meliputi pengurangan jaringan elastik dan
gangguan aliran darah, hal ini sering dijumpai pada proses menjadi tua.
3. Obstruksi inkomplit yang menyebabkan gangguan pertukaran udara,
hal ini dapat disebabkan oleh perubahan dinding bronchiolus.
Insiden emfisema meningkat
dengan disertai bertambahnya umur
D. PATOGENESIS
Terdapat 4
peubahan patologik yang dapat timbul pada pasien emfisema, yaitu:
1. Hilangnya elastisitas paru.
Protease (enzim
paru) merubah atau merusaj alveoli dan saluran nafas kecil dengan jalan merusak
serabut elastin Akibat hal tersebut, kantung alveolar kehilangan
elastisitasnya dan jalan nafas kecil menjadi kollaps atau menyempit.
Beberapa alveoli rusak dan yang lainnya mungkin dapat menjadi membesar.
2. Hyperinflation Paru
Pembesaran
alveoli mencegah paru-paru untuk kembali kepada posisi istirahat normal selama
ekspirasi.
3. Terbentuknya Bullae
Dinding alveolar
membengkak dan berhububgan untuk membentuk suatu bullae (ruangan tempat udara) yang dapat dilihat pada
pemeriksaan X-ray.
4. Kollaps
jalan nafas kecil dan udara terperangkap
Ketika pasien
berusaha untuk ekshalasi secara kuat, tekanan positif intratorax akan
menyebabkan kollapsnya jalan nafas.
E. PEMBAGIAN
EMFISEMA
Emfisema dibagi menurut
pola asinus yang terserang. Ada dua bentuk pola morfologik dari emfisema yaitu:
1. CLE (emfisema
sentrilobular)
CLE ini secara
selektif hanya menyerang bagian bronkhiolus respiratorius. Dinding-dinding
mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang.
Mula-mula duktus alveolaris yang lebih distal dapat dipertahankan penyakit ini
sering kali lebih berat menyerang bagian atas paru-paru, tapi cenderung
menyebar tidak merata. CLE lebih banyak ditemukan pada pria dibandingkan dengan
bronchitis kronik, dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok. (Sylvia A. Price 1995).
2. PLE (emfisema panlobular)
Merupakan bentuk
morfologik yang lebih jarang, dimana alveolus yang terletak distal dari
bronkhiolus terminalis mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata. PLE
ini mempunyai gambaran khas yaitu tersebar merata diseluruh paru-paru. PLE juga
ditemukan pada sekelompok kecil penderita emfisema primer, Tetapi dapat juga
dikaitkan dengan emfisema akibat usia tua dan bronchitis kronik. Penyebab
emfisema primer ini tidak diketahui, tetapi telah diketahui adanya devisiensi
enzim alfa 1-antitripsin. Alfa-antitripsin adalah anti protease. Diperkirakan
alfa-antitripsin sangat penting untuk perlindungan terhadap protease yang
terbentuk secara alami (Cherniack dan cherniack,1983).
PLE dan CLE
sering kali ditandai dengan adanya bula tetapi dapat juga tidak. Biasanya bula
timbul akibat adanya penyumbatan katup pengatur bronkhiolus. Pada waktu
inspirasi lumen bronkhiolus melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan
akibat penebalan mukosa dan banyaknya mucus.. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen
bronkhiolus tersebut kembali menyempit, sehingga sumbatan dapat
menghalangi keluarnya udara.
3.
Emfisema Paraseptal
Merusak alveoli
pada lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi dari blebs sepanjang perifer
paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumothorax
spontan. Panacinar timbul pada orang tua dan pasien dengan defisiensi
enzim alpha-antitripsin.
F. MANIFESTASI KLINIS
Emfisema paru
adalah suatu penyakit menahun, terjadi sedikit demi sedikit bertahun-bertahun.
Biasanya mulai pada pasien perokok berumur 15-25 tahun.
Pada umur 25-35 tahun mulai timbul perubahan pada saluran nafas kecil dan
fungsi paru. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif. Pada umur 45-55
tahun terjadi sesak nafas, hipoksemia dan perubahan spirometri. Pada umur 55-60
tahun sudah ada kor-pulmonal, yang dapat menyebabkan kegagalan nafas dan
meninggal dunia.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.Pemeriksan radiologis
Pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis dan menyingkirkan penyakit-penyakit lain. Foto dada pada
emfisema paru terdapat dua bentuk kelainan foto dada pada emfisema paru, yaitu
:
a. Gambaran defisiensi arteri
(1) Overinflasi
Terlihat diafragma yang rendah dan datar,kadang-kadang terlihat konkaf.
(2) Oligoemia
Penyempitan pembuluh darah pulmonal dan penambahan corakan kedistal.
b. Corakan paru yang bertambah
Sering terdapat pada kor pulmonal, emfisema sentrilobular dan blue bloaters.
Overinflasi tidak begitu hebat.
2. Pemeriksaan fungsi paru
Pada emfisema paru kapasitas difusi menurun karena
permukaan alveoli untuk difusi berkurang.
3. Analisis Gas Darah
Ventilasi yang hampir adekuat masih sering dapat
dipertahankan oleh pasien emvisema paru. Sehingga PaCO2 rendah atau normal.
Saturasi hemoglobin pasien hampir mencukupi.
4. Pemeriksaan EKG
Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock
wise jantung. Bila sudah terdapat kor pulmonal terdapat defiasi aksis ke kanan
dan P-pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah.Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan
di V6 rasio R/S kurang dari 1.
H. PENATA LAKSANAAN
Penata laksanaan emfisema paru terbagi atas :
1. Penyuluhan
Menerangkan pada para pasien hal-hal yang dapat
memperberat penyakit, hal-hal yang harus dihindarkan dan bagaimana cara
pengobatan dengan baik
2. Pencegahan
a. Rokok
Merokok harus dihentikan meskipun sukar. Penyuluhan dan usaha yang optimal
harus dilakukan
b. Menghindari lingkungan polusi
Sebaiknya dilakukan penyuluhan secara berkala pada pekerja pabrik, terutama
pada pabrik-pabrik yang mengeluarkan zat-zat polutan yang berbahaya terhadap
saluran nafas.
c. Vaksin
Dianjurkan vaksinasi untuk mencegah eksaserbasi,
terutama terhadap influenza dan infeksi pneumokokus.
3. Terapi Farmakologi
Tujuan utama adalah untuk mengurangi obstruksi
jalan nafas yang masih mempunyai komponen yang reversible meskipun sedikit. Hal
ini dapat dilakukan dengan :
a. Pemberian bronkodilator
(1). golongan teofilin
Biasanya diberikan dengan dosis 10-15 mg/kg BB per oral dengan memperhatikan
kadar teofilin dalam darah. Konsentrasi dalam darah yang baik antara 10-15 mg/L
(2). golongan agonis B2
Biasandiberikan secara aerosol/nebuliser. Efek samping utama adalah
tremor,tetapi menghilang dengan pemberian agak lama.
b. Pemberian kortikosteroid
Pada beberapa pasien, pemberian kortikosteroid akan
berhasil mengurangi obstruksi saluran nafas.Hinshaw dan Murry menganjurkan
untuk mencoba pemberian kortikosteroid selama 3-4 minggu. Kalau tidak ada
respon baru dihentikan.
c. Mengurangi sekresi mucus
Minum cukup, supaya tidak dehidrasi dan mucus lebih encer sehingga urine
tetap kuning pucat. Ekspektoran, yang sering digunakan ialah gliseril
guaiakolat, kalium yodida, dan amonium klorida. Nebulisasi dan
humidifikasi dengan uap air menurunkan viskositas dan mengencerkan
sputum. Mukolitik dapat digunakan asetilsistein atau bromheksin.
2. Fisioterapi
dan Rehabilitasi
Tujuan fisioterapi dan rehabilitasi adalah
meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup dan memenuhi kebutuhan
pasien dari segi social, emosional dan vokasional.
Program fisioterapi yang dilaksanakan berguna untuk :
a. Mengeluarkan mucus dari saluran nafas.
b. Memperbaiki efisiensi ventilasi.
c. Memperbaiki dan meningkatkan kekuatan fisis
5. Pemberian O2 dalam jangka panjang
Pemberian O2
dalam jangka panjang akan memperbaiki emfisema disertai kenaikan toleransi
latihan. Biasanya diberikan pada pasien hipoksia yang timbul pada waktu tidur
atau waktu latihan. Menurut Make, pemberian O2 selama 19 jam/hari akan
mempunyai hasil lebih baik dari pada pemberian 12 jam/hari.
By: Hadi Sunarno
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.