Senin, 25 Maret 2013

EMFISEMA


A. PENDAHULUAN

Emfisema adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus.  
Emfisema ditandai oleh kolapsnya saluran pernafasan halus dan rusaknya dinding alveolus. Keadaan irreversible ini dapat timbul melalui dua cara. Yang paling sering, emfisema timbul akibat pengeluaran berlebihan enzim-enzim destruktif, misalnya tripsin dari makrofag alveolus sebagai respon terhadap penghirupan asap berulang atau iritan kimiawi inhalan lainnya.
Pada emfisema, sekat-sekat antar alveolus menjadi rusak (lenyap) sehingga ruangan-ruangan dalam paru juga menjadi jauh lebih luas. Kerusakan jaringan paru ini akan mengurangi daya lenting yang dimilikinya, akibatnya paru pun menjadi lebih lentur mengakibatkan perubahan tekanan yang kecil dapat menimbulkan perubahan volume yang lebih besar daripada normal. Walaupun sekilas hal ini seolah menyebabkan bernafas menjadi lebih mudah, yang sebenarnya terjadi malah sebaliknya. Sebagian besar kerja pada bernafas dilakukan untuk mengatasi resistensi jalan nafas, dimana akan menjadi sangat meningkat pada emfisema.
Sesuai dengan definisi tersebut, maka jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan maka keadaan ini tidak termasuk emfisema melainkan hanya sebagai ’overinflation’.
Untuk lebih memahami patofisiologi emfisema, kita dapat menganggap bahwa elastisitas jaringan paru normal sebagai jutaan pegas kecil yang saling berhubungan . Pegas-pegas tersebut cenderung untuk menyebabkan kolapsnya paru dan menghasilkan gaya yang menarik ke dinding dada. Pegas tersebut juga akan menarik dinding jalan nafas, hal ini berfungsi untuk menjaga agar jalan nafas tetap terbuka dan membantu mengurangi resistensi jalan nafas saat ekspirasi. Pada emfisema, jumlah “pegas” yang berfungsi sudah jauh berkurang dan yang tersisa jauh lebih lemah daripada normal. Hal ini berpotensi dalam menyebabkan dua perubahan penting yaitu paru akan menjadi jauh lebih lembek dan mengembang karena berkurangnya tegangan memungkinkan dinding dada mengembang sampai hampir mencapai volume istirahat dinding dada tanpa paru yaitu sekitar 60 % dari kapasitas vital dan jaringan paru tidak akan banyak menarik jalan nafas sehingga jalan nafas yang sempit mudah untuk kolaps saat ekspirasi. Meningkatnya resistensi jalan nafas ini merupakan gejala utama pada emfisema berat. Meningkatnya ukuran paru secara tidak langsung akan meningkatkan Functional Residual Capacity (FRC) dan volume residual.

B.PENYEBAB
1.  FAKTOR GENETIK
Faktor genetik mempunyai peran pada penyakit emfisema. Faktor genetik diataranya adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan kadar imonoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat penyakit obstruksi paru pada keluarga, dan defisiensi protein alfa – 1 anti tripsin.
2. HIPOTESIS ELASTASE-ANTI ELASTASE
Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan menimbulkan jaringan elastik paru rusak. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema.
3. ROKOK
Rokok adalah penyebab utama timbulnya bronkitis kronik dan emfisema paru. Secara patologis rokok berhubungan dengan hyperplasia kelenjar mucus bronkus dan metaplasia epitel skuamus saluran pernapasan

4. INFEKSI
Infeksi menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejalanyapun lebih berat. Infeksi pernapasan bagian atas pasien bronchitis kronik selalu menyebabkan infeksi paru bagian dalam, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Bakteri yang di isolasi paling banyak adalah haemophilus influenzae dan streptococcus pneumoniae.
5. POLUSI
Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi

6. FAKTOR SOSIAL EKONOMI
Emfisema lebih banyak didapat pada golongan sosial ekonomi rendah, mungkin kerena perbedaan pola merokok, selain itu mungkin disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek.
C. PATOFISIOLOGI
Penyempitan saluran nafas terjadi pada emfisema paru. Yaitu penyempitan saluran nafas ini disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Penyebab dari elastisitas yang berkurang yaitu defiensi Alfa 1-anti tripsin. Dimana AAT merupakan suatu protein yang menetralkan enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan paru. Dengan demikian AAT dapat melindungi paru dari kerusakan jaringan pada enzim proteolitik. Didalam paru terdapat keseimbangan paru antara enzim proteolitik elastase dan anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan. Perubahan keseimbangan menimbulkan kerusakan jaringan elastik paru. Arsitektur paru akan berubah dan timbul emfisema. Sumber elastase yang penting adalah pankreas.  Asap rokok, polusi, dan infeksi ini menyebabkan elastase bertambah banyak.  Sedang aktifitas system anti elastase menurun yaitu system alfa- 1 protease inhibator terutama enzim alfa -1 anti tripsin (alfa -1 globulin). Akibatnya tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan anti elastase dan akan terjadi kerusakan jaringan elastin paru dan menimbulkan emfisema. Sedangkan pada paru-paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru keluar yaitu yang disebabkan tekanan intra pleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan paru kedalam yaitu elastisitas paru.
Pada orang normal sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang sehingga saluran nafas bagian bawah paru akan tertutup. Pada pasien emfisema saluran nafas tersebut akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Cepatnya saluran nafas menutup serta dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Tergantung pada kerusakannya dapat terjadi alveoli dengan ventilasi kurang/tidak ada akan tetapi perfusi baik sehingga penyebaran udara pernafasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata.  Sehingga timbul hipoksia dan sesak nafas.

Ada tiga faktor yang memegang peran dalam timbulnya emfisema yaitu :

1.  Kelainan radang bronchus dan bronchiolus yang sering disebabkan oleh asap, debu industri. Radang peribronchiolus disertai fibrosis menyebabkan iskhemia dan parut sehingga memperluas dinding bronchiolus.

2.  Kelainan atrofik yang meliputi pengurangan jaringan elastik dan gangguan aliran darah,  hal ini sering dijumpai pada proses menjadi tua.

3.  Obstruksi inkomplit yang menyebabkan gangguan pertukaran udara,  hal ini dapat disebabkan oleh perubahan dinding bronchiolus. 
Insiden emfisema meningkat dengan disertai bertambahnya umur

D.          PATOGENESIS
Terdapat 4 peubahan patologik yang dapat timbul pada pasien  emfisema, yaitu:
1.  Hilangnya elastisitas paru
Protease (enzim paru) merubah atau merusaj alveoli dan saluran nafas kecil dengan jalan merusak serabut elastin   Akibat hal tersebut, kantung alveolar kehilangan elastisitasnya dan jalan nafas kecil menjadi kollaps atau menyempit.  Beberapa alveoli rusak dan yang lainnya mungkin dapat menjadi membesar.

2.      Hyperinflation Paru
Pembesaran alveoli mencegah paru-paru untuk kembali kepada posisi istirahat normal selama ekspirasi.

3.      Terbentuknya Bullae
Dinding alveolar membengkak dan berhububgan untuk membentuk suatu bullae (ruangan tempat udara) yang dapat dilihat pada pemeriksaan X-ray.

4.  Kollaps jalan nafas kecil dan udara terperangkap
Ketika pasien berusaha untuk ekshalasi secara kuat, tekanan positif intratorax akan menyebabkan kollapsnya jalan nafas.

E. PEMBAGIAN EMFISEMA
Emfisema dibagi menurut pola asinus yang terserang. Ada dua bentuk pola morfologik dari emfisema yaitu:
1. CLE (emfisema sentrilobular)
CLE ini secara selektif hanya menyerang bagian bronkhiolus respiratorius. Dinding-dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung menjadi satu ruang. Mula-mula duktus alveolaris yang lebih distal dapat dipertahankan penyakit ini sering kali lebih berat menyerang bagian atas paru-paru, tapi cenderung menyebar tidak merata. CLE lebih banyak ditemukan pada pria dibandingkan dengan bronchitis kronik, dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok.  (Sylvia A. Price 1995).

2. PLE (emfisema panlobular)
Merupakan bentuk morfologik yang lebih jarang, dimana alveolus yang terletak distal dari bronkhiolus terminalis mengalami pembesaran serta kerusakan secara merata. PLE ini mempunyai gambaran khas yaitu tersebar merata diseluruh paru-paru. PLE juga ditemukan pada sekelompok kecil penderita emfisema primer, Tetapi dapat juga dikaitkan dengan emfisema akibat usia tua dan bronchitis kronik. Penyebab emfisema primer ini tidak diketahui, tetapi telah diketahui adanya devisiensi enzim alfa 1-antitripsin. Alfa-antitripsin adalah anti protease. Diperkirakan alfa-antitripsin sangat penting untuk perlindungan terhadap protease yang terbentuk secara alami   (Cherniack dan cherniack,1983).
PLE dan CLE sering kali ditandai dengan adanya bula tetapi dapat juga tidak. Biasanya bula timbul akibat adanya penyumbatan katup pengatur bronkhiolus. Pada waktu inspirasi lumen bronkhiolus melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat penebalan mukosa dan banyaknya mucus.. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen bronkhiolus tersebut kembali menyempit, sehingga sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara.
3.  Emfisema Paraseptal
Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi dari blebs sepanjang perifer paru.  Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumothorax spontan.  Panacinar timbul pada orang tua dan pasien dengan defisiensi enzim alpha-antitripsin.

F. MANIFESTASI KLINIS
Emfisema paru adalah suatu penyakit menahun, terjadi sedikit demi sedikit bertahun-bertahun. Biasanya mulai pada pasien perokok berumur 15-25 tahun.

Pada umur 25-35 tahun mulai timbul perubahan pada saluran nafas kecil dan fungsi paru. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif. Pada umur 45-55
tahun terjadi sesak nafas, hipoksemia dan perubahan spirometri. Pada umur 55-60 tahun sudah ada kor-pulmonal, yang dapat menyebabkan kegagalan nafas dan meninggal dunia.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.Pemeriksan radiologis

Pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan menyingkirkan penyakit-penyakit lain. Foto dada pada emfisema paru terdapat dua bentuk kelainan foto dada pada emfisema paru, yaitu :

a. Gambaran defisiensi arteri
(1) Overinflasi
Terlihat diafragma yang rendah dan datar,kadang-kadang terlihat konkaf.
(2) Oligoemia
Penyempitan pembuluh darah pulmonal dan penambahan corakan kedistal.
b. Corakan paru yang bertambah
Sering terdapat pada kor pulmonal, emfisema sentrilobular dan blue bloaters. Overinflasi tidak begitu hebat.
2. Pemeriksaan fungsi paru

Pada emfisema paru kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.

3. Analisis Gas Darah

Ventilasi yang hampir adekuat masih sering dapat dipertahankan oleh pasien emvisema paru. Sehingga PaCO2 rendah atau normal. Saturasi hemoglobin pasien hampir mencukupi.
4. Pemeriksaan EKG

Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor pulmonal terdapat defiasi aksis ke kanan dan P-pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah.Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 rasio R/S kurang dari 1.



H. PENATA LAKSANAAN

Penata laksanaan emfisema paru terbagi atas :
1. Penyuluhan
Menerangkan pada para pasien hal-hal yang dapat memperberat penyakit, hal-hal yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan dengan baik



2. Pencegahan

a. Rokok

Merokok harus dihentikan meskipun sukar. Penyuluhan dan usaha yang optimal harus dilakukan

b. Menghindari lingkungan polusi

Sebaiknya dilakukan penyuluhan secara berkala pada pekerja pabrik, terutama pada pabrik-pabrik yang mengeluarkan zat-zat polutan yang berbahaya terhadap saluran nafas.

c. Vaksin

Dianjurkan vaksinasi untuk mencegah eksaserbasi, terutama terhadap influenza dan infeksi pneumokokus.

3. Terapi Farmakologi

Tujuan utama adalah untuk mengurangi obstruksi jalan nafas yang masih mempunyai komponen yang reversible meskipun sedikit. Hal ini dapat dilakukan dengan :

a. Pemberian bronkodilator

(1). golongan teofilin

Biasanya diberikan dengan dosis 10-15 mg/kg BB per oral dengan memperhatikan kadar teofilin dalam darah. Konsentrasi dalam darah yang baik antara 10-15 mg/L
(2). golongan agonis B2
Biasandiberikan secara aerosol/nebuliser. Efek samping utama adalah tremor,tetapi menghilang dengan pemberian agak lama.
b. Pemberian kortikosteroid
Pada beberapa pasien, pemberian kortikosteroid akan berhasil mengurangi obstruksi saluran nafas.Hinshaw dan Murry menganjurkan untuk mencoba pemberian kortikosteroid selama 3-4 minggu. Kalau tidak ada respon baru dihentikan.


c. Mengurangi sekresi mucus
Minum cukup, supaya tidak dehidrasi dan mucus lebih encer sehingga urine tetap kuning pucat.  Ekspektoran, yang sering digunakan ialah gliseril guaiakolat, kalium yodida, dan amonium klorida.  Nebulisasi dan humidifikasi dengan uap air menurunkan viskositas dan mengencerkan sputum.  Mukolitik dapat digunakan asetilsistein atau bromheksin.
2.   Fisioterapi dan Rehabilitasi

Tujuan fisioterapi dan rehabilitasi adalah meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup dan memenuhi kebutuhan pasien dari segi social, emosional dan vokasional.

Program fisioterapi yang dilaksanakan berguna untuk :
a. Mengeluarkan mucus dari saluran nafas.
b. Memperbaiki efisiensi ventilasi.
c. Memperbaiki dan meningkatkan kekuatan fisis
5. Pemberian O2 dalam jangka panjang
Pemberian O2 dalam jangka panjang akan memperbaiki emfisema disertai kenaikan toleransi latihan. Biasanya diberikan pada pasien hipoksia yang timbul pada waktu tidur atau waktu latihan. Menurut Make, pemberian O2 selama 19 jam/hari akan mempunyai hasil lebih baik dari pada pemberian 12 jam/hari.

By: Hadi Sunarno

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.